Monday, March 26, 2012

UHIBBUKI FILLAH, YAA UMMI..

“Ibu.. sedang apa sih?” sapaku pada suatu siang. Kulihat Ibu asyik melakukan sesuatu di dapur.


“Ini Ibu sedang mengupas rambutan..” jawabnya tersenyum.


“Astaghfirullah Bu.. kurang kerjaan banget sih?” kataku manyun berlagak memarahi Ibu. Ia hanya tertawa kecil mendengar ucapanku.


“Bu, kenapa sih Ibu mau repot-repot melakukan hal yang tidak perlu Ibu lakukan?” protesku kembali. Ya, Ibu memang suka sekali merepotkan diri dengan mengupas buah-buahan untuk kami sekeluarga. Rambutan, mangga, pepaya, dan lain-lain. Yang kemudian dipotong-potong dan ditempatkan di wadah. Siap disantap.


Tak hanya itu, sarapan pun selalu Ibu yang menyiapkan untuk kami. Kenapa sih Ibu mau capek-capek? Toh kami juga bisa mengurus diri sendiri, pikirku. Dan ketika kutanyakan hal itu padanya, ia menjawab, “Inilah bahagianya menjadi seorang ibu. Rasa capek tidak ada apa-apanya jika melihat suami dan anak-anak senang. Besok saat Mei menjadi seorang ibu, Mei akan merasakan sendiri kenikmatannya.”


Sekali lagi aku hanya manyun mendengar jawabannya.


[[]]


Di mataku, Ibu adalah seorang wanita perkasa. Wanita hebat. Sosok idolaku. Siapa sangka jika masa lalunya bisa dikatakan 180 derajat?

Ibu berasal dari keluarga kaya yang tidak terbiasa mengurus rumah tangga sendiri karena parakhadimat (pembantu) senantiasa melayani keperluan sehari-hari. Selepas kuliah, Ibu sukses dengan karirnya sebagai seorang dokter gigi. Meskipun pada akhirnya, demi menjalankan tugas mulia sebagai seorang ibu, ia rela meninggalkan profesi yang sangat dibanggakannya itu. Ibu terpaksa harus mengorbankan karirnya demi mengabdikan diri mendidik kelima putra-putrinya. Namun ia ikhlas.


Di rumah sederhana kami, tidak ada khadimat. Otomatis pekerjaan rumah tangga menjadi tanggung jawab seluruh anggota keluarga. Bertujuh. Ayah, Ibu, aku, dan keempat adikku. Masing-masing dari kami mendapatkan pembagian tugas. Aku kebagian mencuci baju, adikku yang paling besar kebagian jatah membuang sampah, adikku yang lebih kecil kebagian jatah mengurusi dapur, dan lain-lain. Namun sering kali kami mangkir dari tugas yang telah ditetapkan. Apabila kami lalai, Ibu bukannya memarahi kami, sebaliknya justru mengambil alih tugas.


“Ibu nih lho, mbok sekali-kali tegas sama anak-anak Ibu. Kalau ada yang mangkir dari tugas tuh mbokya dimarahin kek atau gimana?” tegurku.


“Ah marah-marah bikin capek, mending Ibu kerjakan sendiri.”


Ibu yang ketika muda dulu adalah anak manja yang tak bisa apa-apa, kini menjelma menjadi wanita super bagi suami dan anak-anaknya. Ibu tak pernah berpangku tangan. Segala keperluan keluarga, Ibu kerjakan sendiri. Tak peduli meski harus bolak-balik mengurus ini dan itu dari satu tempat ke tempat yang lain.


Mbok minta tolong sama aku tho Bu, kan aku bisa bantuin. Bapak dan adik-adik juga bisa kan dimintain tolong? Kan nggak harus Ibu yang mengerjakan semuanya?”


“Nggak ah, kalau Ibu bisa kerjakan sendiri akan Ibu kerjakan sendiri. Toh Ibu masih sehat wal’afiat. Kalau Ibu sakit, barulah Ibu minta tolong..” jawabnya.


Ah.. Ibu terlalu baik, terlalu banyak mengalah, terlalu banyak berkorban untuk kami. Bahkan menurutku, Ibu terlalu mengurusi hal-hal remeh. Terlalu ambil pusing. Sebagai contoh lain, ia tidak mau tidur kalau masih ada anaknya yang belum pulang hingga larut. Kadang aku sampai memarahinya.


Mbok udah tho, Ibu tidur saja. Biar Mei yang nungguin adik pulang..” bujukku.


“Nggak ah, Ibu nggak bisa tenang kalau ada anak Ibu yang belum pulang..”


Dalam urusan makanan pun, Ibu selalu mendahulukan suami dan anak-anaknya. Ia rela mendapatkan sisa, bahkan jika tidak kebagian sekalipun tidak menjadi masalah baginya.


“Ah waktu muda dulu, Ibu udah terlalu sering makan enak. Udah cukup lah..” kata Ibu beralasan.


“Udah makan aja, Ibu malas makan. Sudah kenyang..” kata Ibu di kesempatan lain.


[[]]


Perjalananku menjadi seorang ibu mungkin masih jauh. Namun telah banyak pelajaran yang aku dapatkan dari Ibuku tercinta. Padaku ia berpesan bahwa seorang ibu itu haruslah serba bisa.Supermom. Darinya aku belajar tegar dan mandiri. Dari ia pulalah aku belajar mengalah, sabar, ikhlas, dan rela berkorban.


Ya Allah, aku sayang Ibuku. Tolong sayangilah Ibu seperti ia menyayangiku sedari kecil. Lindungilah ia dengan kasih sayang-Mu. Jagalah ia dengan sebaik-baik penjagaan-Mu. Aamiin..


Uhibbuki fillah, yaa Ummi..



Yogyakarta, 19 Desember 2011

Meidwinna Vania Michiani

(Meina Fathimah)

http://www.meidwinna.blogspot.com


*Cerita ini dalam rangka mengikuti kisah pendek The Great Power of Mother Pro-U Media

http://www.facebook.com/proumedia


KAPAN LULUS?

Aku adalah mahasiswi Teknik Arsitektur tingkat akhir di sebuah universitas negeri yang katanya terkemuka di Indonesia. Tahun keempat. MABA alias mahasiswa bangkotan. Posisi dimana kebanyakan orang mengasumsikannya sebagai tahun wajib lulus. Tahun dimana katanya status kemahasiswaan sudah seharusnya beralih menjadi alumni mahasiswa. Menjadi wisudawan wisudawati. Lulus. Lalu mencari kerja.


“Udah lulus belum?”


“Kapan wisuda nih?”


“Hah, kok belum lulus sih?”


“Mbak belum lulus toh? Awas ntar kuselip lho..”


Pertanyaan demi pertanyaan terus berulang. Teman-teman dari jurusan lain, sanak saudara, hingga orang yang baru kukenal, semua mengajukan pertanyaan sejenis. Pertanyaan klasik. Serupa meski tak sama. Entah itu ekspresi kepedulian ataukah ekspresi cemooh. Dengan bumbu canda maupun serius. Pertanyaan dengan beragam varian hanya untuk meminta kepastian : KAPAN LULUS?


“Kelulusan bagi mahasiswa arsitektur tidak bisa secepat jurusan lain..” jawabku singkat setiap ada yang menanyakan masalah itu. Jawaban yang terkadang aku lengkapi dengan penjelasan panjang lebar mengenai alasanku ‘menunda’ menjemput kelulusan. “Lamanya masa studi di Teknik Arsitektur minimal empat tahun. Delapan semester. Jadi paling cepat lulus ya empat tahun. Tapi umumnya jarang ada mahasiswa yang bisa lulus empat tahun pas. Ada begitu banyak tahapan dan syarat menjalani tugas akhir..”


Pertama, di semester tujuh ada yang namanya Pra Tugas Akhir (Pra TA). Pra TA ini bisa dibilang mirip dengan skripsinya jurusan lain, yaitu menulis laporan yang diakhiri dengan seminar atau sidang. Tahapan ini harus dijalani minimal selama satu semester, belum ditambah dengan revisi atau bahkan mengulang.”


Kedua, tahap Tugas Akhir. Tugas Akhir bisa diambil di semester delapan dengan syarat sudah lulus semua mata kuliah, termasuk Pra TA. Kalau masih ada mata kuliah dengan nilai E, jangan harap bisa mengambil Tugas Akhir. Adapun Tugas Akhir sendiri dibagi menjadi dua tahap, yang masing-masing dijalani selama dua bulan. Transformasi Desain (TD) dan Pengembangan Desain (PD). Produk TD berupa hand drawing hasil mentransformasikan konsep dari Pra TA ke dalam bentuk gambar sketsa. Setelah tahap TD selesai, lengkap dengan seminarnya, baru bisa lanjut ke PD. Produk PD juga berupa gambar seperti TD. Namun bedanya, produk PD adalah gambar kerja dengan komputer. Gambar jadi,fixed, bukan lagi sketsa seperti TD. Proses PD ini berakhir dengan pendadaran yang dilengkapi dengan produk berupa maket. Setelah final pendadaran inilah kami baru bisa yudisium dan wisuda.”


Ada yang percaya dengan penuturanku. Namun ada pula yang mencemooh tak percaya, “halah, paling kamu aja tuh yang malas-malasan..”, tebakku bersu’udzon.


Ah tidak, tidak! Aku tidak boleh berburuk sangka seperti itu. Siapa tahu justru dari mereka lah do’a untukku terkirim. Ya benar. Siapa tahu do’a mereka lah yang membantu melancarkan perjalananku menuju kelulusan. Bukankah do’a seseorang bagi saudaranya tanpa diketahui saudaranya tersebut insya Allah terkabul?1 Berarti, seharusnya aku justru berterima kasih atas pertanyaan-pertanyaan itu.. Ya, karena itu adalah wujud kepedulian mereka kepadaku. Bukankah begitu?


Menyandang status sebagai mahasiswa tahun keempat, pertanyaan-pertanyaan tentang kelulusan menjadi sangat akrab di telingaku. Menghiasi setiap hariku. Melekat bagaikan lem di benakku. Terkadang membuatku gusar. Resah. Jujur, ini cukup membebani pikiran. Aku harus segera lulus, tak ada kompromi. Aku sadar itu. Sangat sadar. Namun aku berusaha bersikap biasa. Berusaha tidak menggubris pandangan-pandangan orang. Berusaha menenangkan hati dan pikiran, berkhusnudzon pada Allah. Kalau sudah waktunya, insya Allah pasti lulus, yakinku. Aku percaya seutuhnya pada ketentuanNya. Layaknya jodoh yang sudah Allah takdirkan, kelulusan pun sudah Allah tentukan. Setiap orang punya jalan hidupnya masing-masing. Percayalah..


---


Di saat kebanyakan orang menggencet-gencet dengan pertanyaan seputar kelulusan, orang tuaku justru tidak pernah sekalipun menuntut untuk segera lulus. “Semua sudah diatur oleh Allah. Kalau sudah tiba waktunya insya Allah ada jalan,” nasehat ibuku mengingatkan setiap kali aku gusar memikirkan kelulusan. Tak pernah ibu protes sedikit pun. Begitu juga ayahku. Bahkan beliau sama sekali tak pernah menyinggung hal itu. Ayah hanya menanyakan kabarku dan tugas akhirku.


Namun sebagai seorang anak, tentu saja aku memikirkan perasaan keduanya. Bukankah setiap orang tua pasti akan lega dan senang melihat anaknya segera lulus? Lulus dengan hasil yang baik tentunya. Jadi, meski kedua orang tuaku tidak pernah mengatakan secara lisan, aku yakin mereka ingin segera melihat putri sulungnya ini segera lulus. Maka tak ada kompromi. Segera selesaikan tugas akhir. Segeralah lulus!!


NB : Buat temen2 yang sedang berikhtiar menjemput kelulusan,jangan patah semangat..ayo kita berjuang!! :)

Masalah kelulusan tentu saja urusan Allah. Meski memang, usaha atau ikhtiar serta do’a tetap menjadi kunci utama..Bismillah..



Yogyakarta, 14 Desember 2011

Meina Fathimah

www.meidwinna.blogspot.com

#saat ide tugas akhir tak kunjung hadir#


Berhati-hatilah Ketika Hendak Membeli Bensin



Kejadian naas itu (rada lebay sih) terjadi Senin sore tanggal 12 Desember 2011 di salah satu pom bensin di sudut kota Sleman. Musibah ini menimpa seorang mahasiswi Teknik Arsitektur UGM yang tak lain dan tak bukan adalah aku sendiri.

---

Kejenuhan rutinitas mendekam di studio tugas akhir (TA) setiap harinya membuatku selalu merindukan rumah. Home sick. Bagaimana tidak? Setiap jam delapan pagi hingga jam empat sore, para pejuang TA dikarantina di studio yang terletak di lantai dua kampus kami. Kami dipaksa duduk di depan layar PC, menggambar garis demi garis. Ada garis yang lurus, ada yang lengkung, bahkan ada yang patah-patah. (Penting yak?) Dan selama proses karantina itu kami sama sekali tidak diberi minum apalagi makan! (Ya iyalah, kalau mau makan beli sendiri..). Maka ketika sore hari tiba, ketika begitu bel tanda pulang berbunyi (nggak ada belnya kali Dwin!), tanpa pikir panjang kami buas menyerbu pintu keluar bagaikan harimau yang kelaparan. Harimau kelaparan yang berusaha meloloskan diri ke alam liar dari kungkungan ruang berukuran sekian kali sekian (aku lupa ukuran ruangnya) yang mengurung kami bagaikan penjara. Menyedihkan sekali bukan?

Aku, salah satu harimau betina kelaparan yang terpenjara (?), tak luput dari perilaku menyedihkan itu. Sore itu pun aku yang sangat merindukan alam liar eh maksudku merindukan rumah segera angkat kaki dari studio. Berlari secepat angin menuju tempat kumenambatkan mustang (baca : sepeda motor) kesayanganku, si Putih.

Pulang! Pulang! Pulang! Rumah! Rumah! Rumah! Hanya itulah yang memenuhi benakku sore itu. Namun rupanya, aku perlu menahan sedikit keinginan untuk segera tiba di rumah. Si Putih nampak kelaparan. Maka mampirlah aku di sebuah pom bensin untuk membelikannya pakan.

Wow antri, bo! Pikirku kecewa. Di stasiun khusus pengisian bensin sepeda motor yang terletak di sisi kiri pom terlihat antrian yang sangat panjang. Dalam hitungan detik, kedua tanganku refleks membelokkan si Putih ke kanan setelah memergoki adanya stasiun pengisian bensin untuk sepeda motor di sisi lain yang sangat lengang. Ya ampun orang-orang itu pada ngapain sih antri panjang-panjang di sebelah sana, wong di sebelah sini sepi. Pikirku polos (atau bodoh?) tanpa curiga sambil membuka tutup tangki bensin si Putih.

Si Putih makan dengan lahapnya saat mas-mas petugas pom bensin menyodorkan bensin padanya. Sementara aku dengan sabar menungguinya.

Tiba-tiba mataku tertuju pada layar yang menampilkan digit angka yang perlu kukeluarkan untuk membayar pakan si Putih. What?! Tiga puluh ribu? tanyaku dalam hati. Kaget.

“Anu Mas, tadi ngisinya nggak dari nol ya?” protesku pada si Petugas.

“Kan harga seliternya delapan ribu, Mbak..” jelasnya. Sementara digit-digit angka di layar harga terus bertambah.

“Hah?”

“Pertamax..” si Petugas kembali menjelaskan. Tepat saat angka harga berhenti di tiga puluh empat ribu.

ARRGGGHHHH!!! Kenapa nggak bilang sejak awal sih Mas??? Bilang donk!! Mana gue tempe kalau ini stasiun untuk pengisian Pertamax??!!
Mana belinya full tank pula!!? Teriakku keras-keras (tapi dalam hati dink) sambil membuka dompetku. Dan..

Oh No!! Teriakku sekali lagi (masih di dalam hati). Hanya ada lima lembar uang lima ribuan yang tersisa di dompet. Aku baru ingat, uang telah kuhabiskan untuk membeli kertas kalkir dengan hanya menyisakan dua puluh lima ribu rupiah. Jumlah yang lebih dari cukup untuk sekedar membeli premiumfull tank.

”A..a..anu mas, duit saya kurang.. i..ii.iini cuma ada dua puluh lima ribu..” kataku kemudian sambil terbata-bata. Panik (aslinya sih aku tetep stay cool gitu, tapi biar lebih ngena ke pembaca kubikin lebay gitu dehhh..).

“Saya bayar segini dulu, Mas. Setelah ini saya mau mencari bala bantuan dulu. Saya nggak kabur kok Mas..” lanjutku.

“Iya, Mbak..” jawabnya dengan nada mi-fa-mi. (nggak penting banget sih?)

“Saya parkirin motor saya di sebelah sono ya Mas..”

“Iya, Mbak..” jawabnya lagi (kali ini pun dengan nada mi-fa-mi) sambil menyodorkan selembar uang seribu. “Ini saya kembalikan seribu. Biar kekurangannya pas sepuluh ribu.”

“...”

---

Beberapa menit yang lalu, aku berhasil mengontak ibu setelah sebelumnya gagal mengontak adik tertuaku, Benk (bukan nama sebenarnya).

“Ibu sudah bilang Benk. Nanti dia yang nyusulin duit ke sana,” kata ibu mengakhiri perbincangan kami di telepon.

Menunggu. Hanya itu yang bisa kulakukan saat itu. Sementara rintik-rintik hujan mulai turun membasahi jilbab merah jambu yang kukenakan. Ah, rupanya langit pun ikut menangisi kemalanganku. Apakah langit ataukah Miss Gumiho si Siluman Rubah Betina yang menangis? Lho kok malah nyambung ke Gumiho sih?

Kubiarkan saja tetes-tetes air hujan yang lembut membelai tubuhku. (Mellow yak? Nggak juga sih, seru aja main hujan-hujanan. Lagian cuma gerimis kok.. :-P) Sementara tanganku mulai sibuk beralih pada ponsel mungilku. Mengetikkan huruf demi huruf pada layarnya. Bosen sih.. adikku belum dateng-dateng. Makanya aku sms temenku aja deh. Curhat.

Pada saat yang bersamaan, para petugas pom bensin yang sedang ngeyup tampaknya mulai resah melihat tingkahku. Iba. Yes! Strategiku berhasil! Eh?? Dari kejauhan kulihat salah seorang dari mereka berjalan ke arahku sambil memasang ekspresi : mesakke men to, cah wedok dhewean, udan-udanan.. Mungkin itulah yang dipikirkan si Petugas, tebakku asal (ge-er banget sih?).

”Mbak..” sapanya.

”Ya?”

”Mbak kurang sepuluh ribu ya?” tanyanya sopan.

”Iya, Mas..”

”Gini aja, Mbak ngutang dulu nggak papa kok.. Lebih baik Mbak sekarang pulang aja. Hujan..” katanya dengan melemparkan sorot mata kasihan.

”Beneran Mbak.. Mbak pulang aja, besok ke sini lagi. Boleh ngutang dulu kok. Seminggu..” lanjutnya. Ngotot.
”Nggak usah, Mas. Saya mau nunggu aja,” tegasku.

”Ya udah deh Mbak.. tapi ini hujan lho soalnya..” ujarnya menyerah sambil pergi meninggalkanku.

---

Dan.. Penantianku berujung indah. Adikku datang dengan mustang merahnya. ”Nih..” katanya sambil menyodorkan selembar uang lima puluh ribuan padaku.

”Hehe..” aku meringis menerima pemberiannya, ”makasih..”

Segera kuberlari menghampiri salah seorang petugas sambil menyerahkan uang tersebut. Alhamdulillah.. no debt anymore.. J

---

Tahukah Anda? Peristiwa naas di atas sebenarnya bukanlah yang pertama. Namun itu adalah kali kedua tertahannya aku di pom bensin. Lalu bagaimana kronologis kejadian yang pertama?

Alkisah. Bertahun-tahun yang lalu, pengalaman pertama terjadi gara-gara alasan yang lebih tidak masuk akal. Ketika itu, berbekal selembar uang seratus ribu, aku mampir di sebuah pom bensin. Aku percaya diri. Namun pada saat hendak membayar...

”Maaf Mbak, ini uangnya udah nggak laku..” kata si Petugas.

”Maksudnya?”

”Uangnya udah nggak laku..” ulangnya lagi.

”Hah, masa sih?” tanyaku tak percaya.

”Iya Mbak..”

”Lha trus?” aku masih tidak percaya.

”Yang dipakai sekarang yang ini..” ujarnya lagi sambil memperlihatkan selembar uang seratus ribuan yang berbeda dengan lembaran milikku.

”Masa sih Bu yang ini udah nggak laku??” tanyaku ngotot.

”Iya Mbak, uangnya Mbak udah lama ditarik dari peredaran..”

”Tapi...” (puyeng)

Alhamdulillah, ketika itu aku bisa lolos setelah mendapat bala bantuan dari seorang teman. Kebetulan peristiwa itu terjadi tak jauh dari rumah salah seorang teman.. Fyuuhh..

Jadi, hikmah apa yang bisa diambil dari kisahku? Silakan dimaknai sendiri-sendiri. Dan jangan lupa, BERHATI-HATILAH KETIKA HENDAK MEMBELI BENSIN jika tidak mau berakhir sepertiku.. Oke?


Yogyakarta, 13 Desember 2011
Meina Fathimah
www.meidwinna.blogspot.com
#edisi galau tugas akhir#
#Kisah ini tentu saja diangkat dari kisah nyata yang ditambahi sedikit bahkan sangat banyak bumbu-bumbu lebay. Harap maklum, efek samping dari tugas akhir.. So, jangan percayai kisah ini 100% atau anda akan tertipu.. (apa sih, Dwin??) So.. ini kisahku, mana kisahmu? (malah iklan)#

Menjadi Murabbi Itu Mudah (Bagian 1)


PENDAHULUAN

Murabbi adalah istilah tarbiyah untuk menyebut pada seseorang yang menyelenggarakan dan bertanggungjawab atas proses tarbiyah suatu kelompok. Ia berperan penting sebagai pengawal regenerasi kader-kader dakwah. Ia pula yang bertanggungjawab melakukan proses tarbiyah, yaitu pembentukan pribadi dan pewarisan nilai, disertai kontrol dan evaluasi.

Ada pepatah mengatakan, “Jadilah muridnya guru, bukan muridnya buku”. Proses pembelajaran atau tarbiyah tidak cukup dengan membaca buku saja. Buku memang mampu memberikan wawasan dan pengetahuan, tapi buku tidak bisa diajak berdiskusi. Buku tidak akan pernah tahu apakah pembacanya keliru menangkap isi tulisannya atau tidak. Pun dengan membaca buku saja kita tidak bisa dikatakan sebagai murid dari si pengarang buku tersebut. Maka haruslah ada orang yang mengawal proses pemahaman tersebut. Peran itu diampu oleh murabbi.

Pertanyaannya adalah, mudahkah menjadi murabbi? Mudah! Memang, ada ikhwah yang masih takut-takut menjadi murabbi karena dianggapnya beban. Tapi ingatlah, Allah itu menghendaki kemudahan dan tidak menghendaki kesulitan.

“Allah menghendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki bagimu kesulitan.” (QS. Al Baqoroh : 185)

Kemudahan menjadi salah satu semangat Islam. Rasulullah saw pun menyukai kemudahan. Bila ada dua hal yang sama-sama boleh dilakukan, maka beliau memilih yang lebih mudah di antaranya.

Menjadi murabbi ibarat orang belajar naik sepeda. Bagi mereka yang belum pernah mencobanya akan merasa susah dan juga begidik membayangkan harus jatuh dari sepeda. Namun sebaliknya, bagi mereka yang sudah mencoba naik sepeda bahkan sudah merasakan harus jatuh, mereka akan berpendapat bahwa naik sepeda itu mudah dan menyenangkan.

Tujuan tarbiyah memang tetap, namun metode dan teknik membina semakin beragam dan kaya. Belum lagi sarana dan prasarana yang kini kian lengkap. Semuanya sudah tersedia, kita tinggal memanfaatkannya. Jadi apa susahnya menjadi murabbi?


TUGAS MURABBI

Dia-lah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang Rasul di antara mereka, yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, mensucikan mereka dan mengajarkan mereka Kitab dan Hikmah (As Sunnah). Dan sesungguhnya mereka sebelumnya benar-benar dalam kesesatan yang nyata.” (QS Al Jumu’ah : 2)

Layaknya peran Nabi Muhammad saw sebagai rasul Allah, murabbi pun memiliki peran yang tak jauh berbeda, yakni :


1. Membacakan ayat-ayat Allah swt

Membiasakan binaan untuk senantiasa berinteraksi dengan Al Qur’an dalam kesehariannya, menjadikannya sebagai pedoman hidup, adalah tugas murabbi. Interaksi dengan Al Qur’an itu meliputi (a) tilawah harian secara baik dan benar, (b) hafalan, serta (c) pemahaman dan pengamalan ayat-ayatnya.

Seorang ulama menjelaskan, siapakah dari umat Islam yang masuk kategori meninggalkan Al Qur’an : “Barangsiapa yang tidak membaca Al Qur’an maka ia telah meninggalkannya. Barangsiapa yang membaca Al Qur’an namun tidak mempelajari isinya maka ia telah meninggalkannya. Barangsiapa yang membaca Al Qur’an, mempelajari isinya, namun tidak mengamalkannya maka ia telah meninggalkannya.


2. Menyucikan dari kemusyrikan dan kemaksiatan, wayuzakkiihim

a. Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya. Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu, dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya.” (QS. Asy Syams : 8-10)

Manusia memiliki dua kecenderungan, fujur dan takwa. Dengan begitu, seorang murabbi adalah pengawal proses pemupukan dan penjagaan ketakwaan para binaan, melalui monitoring amal ibadah yaumiyah juga penanaman akhlakul karimah.

b. Di sisi lain, manusia mempunyai dua potensi : positif dan negatif. Murabbi bertugas membantu mengembangkan potensi positif dan mereduksi potensi negatif. Potensi-potensi itu meliputi keahlian, studi khusus, keterampilan dan kemampuan, wawasan, bakat, minat, dll.


3. Mengajarkan isi kandungan Al Qur’an dan Al Hadits

a. Yaitu memahamkan binaan tentang Islam sebagai way of life, dengan mempertajam pemahaman mereka tentang syahadatain, ma’rifatullah, ma’rifaturrasul, Islam yang kaffah, serta memahami posisi dan kewajiban sebagai makhluk.

b. Juga dengan membiasakan binaan dengan amal ibadah yaumiyah, menghidupkan sunnah, mewarnai ruh, fikroh, tampilan fisik, perilaku, selera, dan setiap unsur diri dengan nilai-nilai Islam demi membentuk pribadi-pribadi yang senantiasa mengaplikasikan nilai-nilai Islam dalam kehidupannya (syakhshiyah islamiyah).

c. Menumbuhkan kepedulian binaan terhadap persoalan dunia Islam, kondisi umat Islam, serta berperan dalam memperjuangkan umat Islam demi membentuk pribadi-pribadi da’i yang menyeru umat kepada Islam (syakhshiyah da’iyah).


STATUS MURABBI

1. Menyambung Mata Rantai Dakwah

Proses kaderisasi merupakan titik penting dan vital yang menjamin ketersediaan para pelaku dakwah di setiap waktu dan adanya keberlanjutan pewarisan nilai. Pembinaan yang intens dengan mewariskan nilai, melakukan rekrutmen sekaligus memperhatikan aspek kualitas kadernya dengan penjagaan yang baik merupakan bagian dari proses untuk menyambung rantai dakwah ini. Apabila kita tidak tidak mau jadi murabbi, maka rantai tarbiyah itu akan terputus pada kita. Tidakkah kita merasa bersalah? Maka jangan tersinggung jika dikatakan bahwa kitalah yang telah memutus mata rantai itu.


2. Kontribusi Dakwah

Dakwah adalah pekerjaan besar dengan cita-cita yang sangat tinggi, tujuan yang sangat mulia, dan perjalanan yang sangat panjang. Ada pepatah mengatakan, “Sebesar apapun yang Anda sumbangkan untuk dakwah Islam maka itu kecil nilainya bagi dakwah yang sangat luas ini. Akan tetapi, sekecil apapun yang Anda sumbangkan bagi dakwah maka sangat besar nilainya bagi Anda sendiri.” Jadi sesungguhnya kitalah yang membutuhkan dakwah ini, untuk berkontribusi, sebagai ladang amal yang telah Allah sediakan bagi kita.

Tidaklah sama antara mukmin yang duduk (yang tidak ikut berperang) yang tidak mempunyai 'uzur dengan orang-orang yang berjihad di jalan Allah dengan harta mereka dan jiwanya. Allah melebihkan orang-orang yang berjihad dengan harta dan jiwanya atas orang-orang yang duduk satu derajat. Kepada masing-masing mereka Allah menjanjikan pahala yang baik (surga) dan Allah melebihkan orang-orang yang berjihad atas orang yang duduk dengan pahala yang besar, (yaitu) beberapa derajat dari pada-Nya, ampunan serta rahmat. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. An Nisaa : 95-96)

Jangan berpikir bahwa masih ada kok orang lain yang bisa menjadi murabbi, jadi aku tidak usah saja menjadi murabbi. Tunggu dulu! Ketika semua orang berpikiran sama seperti itu, akan jadi apa dakwah ini? Di saat semakin banyak orang yang membutuhkan banyak sentuhan dakwah, justru tidak ada yang membina. Hal ini akan berakibat besar pada dakwah.


3. Tidak Ada Outsourcing

Menjadi murabbi hanya bisa dilakukan oleh orang yang telah mengikuti tarbiyah, karena tugas murabbi adalah mencetak kader-kader tarbiyah dalam kerangka manhaj kita.


SEBUAH KEPRIHATINAN

Pertumbuhan jumlah kader bisa dibilang lambat, jauh dari target. Mengapa begitu? Kalau dikaji lebih jauh, di antara banyaknya kader dakwah sekarang, masih banyak ikhwah yang tidak membina. Padahal dari jenjang dan usia tarbiyahnya, semestinya punya binaan. Apakah karena tidak ada yang bisa dibina? Tidak, justru banyak orang di sekeliling kita yang sebenarnya mau menerima dakwah ini. Lantas apalagi yang menghalangi kita untuk membina?


UNTUNGNYA JADI MURABBI

1. Pahala sebagai Da’i

Demi Allah, jika Allah memberi petunjuk kepada satu orang karenamu, itu lebih baik bagimu daripada unta merah.” (Muttafaq Alaih)

Sesungguhnya Allah, malaikatNya, serta penduduk langit dan bumi, hingga semut yang ada di lubangnya, dan ikan-ikan yang ada di laut, (semuanya) berselawat atas orang yang mengajarkan kebaikan kepada manusia.” (HR. Tirmidzi)


2. Multi Level Pahala

Barangsiapa membuat suatu sunnah yang baik dalam Islam maka baginya pahala dari hal itu dan mendapat pahala yang sepadan dari pahala orang lain yang mengerjakannya tanpa mengurangi pahala dari orang lain itu sedikit pun…” (HR. Ahmad)


3. Lebih Memahami Tarbiyah

Dengan menjadi murabbi, kita dituntut untuk semakin memperdalam, menginternalisasi, dan memperkaya materi yang pernah kita dapatkan untuk diajarkan kembali kepada binaan. Selain itu sebagai seorang murabbi, kita tentunya akan mendapatkan tambahan materi tarbiyah yang memang khusus disiapkan untuk para murabbi. Itu berarti, ikhwah yang mempunyai binaan akan menerima lebih banyak ilmu dan wawasan dibanding yang belum mempunyai binaan kan?


4. Termotivasi untuk Terus Meningkatkan Amal

Hal itu sudah jelas. Masa iya syiar ibadah harian murabbi lebih rendah dibandingkan binaan?


5. Pendewasaan Diri

Rasa tanggung jawab, bijaksana, empati, belajar untuk berkomunikasi dan memahami karakter orang lain, semua itu bisa kita dapatkan seiring dengan interaksi yang dibangun dengan para binaan.


6. Aplikasi Ta’awun


MENGHALAU KERAGUAN

1. Merasa Belum Siap

Obat dari keraguan karena merasa tidak siap adalah, jalani! Cobalah saja dulu. Adapun persiapan itu bisa sambil jalan.


2. Merasa Belum Pantas

Kita tak perlu menunggu menjadi sempurna untuk menjadi murabbi. Toh pada kenyataannya tidak akan ada manusia sempurna kan? Kalau kita terus menunda-nunda, bagaimana nasib para mad’u yang menunggu untuk di-tarbiyah-i dan didakwahi? Berangkatlah berdakwah dengan apa yang ada, tak perlu menunggu semuanya sempurna. Dan langkah kesempurnaan itu akan berjalan seiring pekerjaan dan waktu.


3. Merasa Tidak Cocok

Merasa dirinya tidak ahli. Masa iya? Jangan menyimpulkan tidak ahli atau tidak cocok sebelum dicoba. Kalau gagal, coba lagi. Gagal lagi, coba lagi, dan seterusnya. Dari kegagalan akan ada evaluasi dimana letak kegagalannya. Itu akan menjadi pelajaran yang berharga untuk perbaikan ke depannya.


4. Belum Mendapat Kelompok Binaan

Belum mendapat kelompok? Mintalah kepada murabbi. Insya Allah kita tidak akan kehabisan obyek yang siap didakwahi, karena ada begitu banyak orang yang memang membutuhkan sentuhan dakwah kita.


5. Sibuk

Sesibuk apapun kita, selama kita menganggap menjadi murabbi itu penting, maka bagaimanapun caranya kita pasti akan berusaha meluangkan waktu dan memprioritaskan itu. Sebenarnya ada kelebihan yang dimiliki orang-orang sibuk. Orang-orang sibuk akan berusaha mencari celah untuk menyisipkan aktivitas yang diinginkan di sela-sela kesibukannya yang lain.


6. Trauma Pengalaman

Jangan biarkan trauma selamanya menghalangi kita untuk menjadi murabbi. Salah itu biasa, gagal itu biasa. Maka cobalah kembali sambil terus memperbaiki diri, dengan berkaca pada pengalaman-pengalaman yang pernah dialami.


MEMULAI JADI MURABBI

1. Alasan Menjadi Murabbi

Ada berbagai pengalaman bagaimana seseorang menjadi murabbi. Ada yang terpaksa, ada yang melanjutkan kelompok taklim, ada yang memang ingin menjadi murabbi, ada yang menjadi murabbi karena tradisi angkatan, ada pula yang menjadi murabbi karena merasa butuh penerus, dan bahkan ada pula yang memutuskan untuk menjadi murabbi karena merasa ini adalah panggilan dakwah. Apapun alasannya, itu tidak masalah. Itu urusan antara kita dan Allah. Untuk menjadi murabbi, kita tidak dituntut memiliki alasan ideal untuk memulainya. Alasan itu bisa kita perbaiki seiring dengan berjalannya waktu.


2. Mendapatkan Binaan

a. Jangan Tunda

Bila memang keinginan untuk membina telah ada, jangan tunda lagi. Pasti Allah swt akan memudahkan segala urusan.

b. Banyak Cara Mendapatkan Binaan

Ada banyak cara untuk mendapatkan binaan di antaranya : (i) merekrut sendiri, (ii) titipan atau rekomendasi ikhwah, (iii) membuat aktivitas rekrutmen, (iv) follow up taklim, (v) limpahan halaqoh dari ikhwah lain baik itu meminta maupun diminta.


BAB VIII SETTING MENTAL MURABBI

Medan dakwah isinya sedemikian kompleks dan beragam, dengan segudang tipe, sifat, karakter, dan kondisi manusia. Untuk itu kita senantiasa dituntut untuk bersikap positif yang tersimpul dalam tiga hal, yaitu ikhlas, lapang dada, dan husnudzon. Dengan berlandaskan tiga hal tersebut, maka setting mental murabbi akan melahirkan sikap-sikap berikut :


1. Tidak Patah Arang

Perjuangan dakwah memang membutuhkan pengorbanan yang luar biasa, belum lagi jika harus menghadapi cacian dan makian dari orang-orang yang membenci Islam. Namun jangan patah arang. Cobalah berkaca pada Rasulullah saw yang tak gentar meski beliau harus mendapatkan tak hanya cacian namun juga lemparan batu hingga kotoran.

Hadapi semua cobaan yang menghalangi dengan sikap dewasa; jangan sampai cobaan itu menyurutkan niat menjadi murabbi. Anggap saja peristiwa-peristiwa itu sebagai kenangan ‘manis’ dalam perjalanan tarbiyah kita. Bagaimanapun kita tidak akan pernah tahu apa yang terjadi kemudian. Bisa jadi orang-orang yang dahulu mencaci langkah dakwah kita, di kemudian hari mendapatkan hidayah untuk bergabung di barisan dakwah ini. Allahu akbar..


2. Bersikap Tenang

Dalam dakwah adakalanya kita jumpai hal-hal tidak terduga, baik itu positif maupun negatif. Cobalah untuk bersikap tenang menghadapinya. Ketenangan memberikan kesempatan kepada kita untuk berpikir jernih dan memberikan respons terhadap peristiwa tersebut. Ketika kita bisa merespons positif, maka tantangan bisa diubah jadi peluang.


3. Bijak Menyikapi Realitas Binaan

Kita tidak sepenuhnya tahu tentang sifat-sifat dan background binaan. Kadang ada sfat atau perilaku mereka yang perlu diubah. Namun perubahan itu butuh proses, butuh waktu. Maka perlulah kita menghargai proses binaan untuk menjadi baik. Sangat berlebihan jika kita menuntut seseorang yang masih berandal pada hari Sabtu, mulai tarbiyah hari Ahad, harus sudah alim di hari Senin! Ingat, semua itu butuh proses!


To be continued..



Yogyakarta, Maret 2012

Dirangkum dari “Menjadi Murabbi Itu Mudah” karya Muhammad Rosyidi dengan perubahan secukupnya

_Meina Fathimah_

Assalamu'alaykum warahmatullahi wabarakatuh...

(Puji syukur kehadirat Allah yang masih memberikan nikmat iman dan Islam pada diri ini..)

Selamat datang di blogku yang mungkin hanya berisi secuil pemikiran dan ungkapan isi hati...

Sungguh, kebenaran datangnya hanya dari Allah. Adapun kesalahan datangnya murni dari diri ini. Untuk itu mohon masukan, kritik, dan sarannya serta mohon dimaafkan atas segala kesalahan. Terima kasih. Selamat menikmati. Semoga bermanfaat dan membawa berkah. Amin

(Mulakanlah dengan membaca Basmalah.... dan akhirilah dengan Hamdalah..)