Monday, March 26, 2012

UHIBBUKI FILLAH, YAA UMMI..

“Ibu.. sedang apa sih?” sapaku pada suatu siang. Kulihat Ibu asyik melakukan sesuatu di dapur.


“Ini Ibu sedang mengupas rambutan..” jawabnya tersenyum.


“Astaghfirullah Bu.. kurang kerjaan banget sih?” kataku manyun berlagak memarahi Ibu. Ia hanya tertawa kecil mendengar ucapanku.


“Bu, kenapa sih Ibu mau repot-repot melakukan hal yang tidak perlu Ibu lakukan?” protesku kembali. Ya, Ibu memang suka sekali merepotkan diri dengan mengupas buah-buahan untuk kami sekeluarga. Rambutan, mangga, pepaya, dan lain-lain. Yang kemudian dipotong-potong dan ditempatkan di wadah. Siap disantap.


Tak hanya itu, sarapan pun selalu Ibu yang menyiapkan untuk kami. Kenapa sih Ibu mau capek-capek? Toh kami juga bisa mengurus diri sendiri, pikirku. Dan ketika kutanyakan hal itu padanya, ia menjawab, “Inilah bahagianya menjadi seorang ibu. Rasa capek tidak ada apa-apanya jika melihat suami dan anak-anak senang. Besok saat Mei menjadi seorang ibu, Mei akan merasakan sendiri kenikmatannya.”


Sekali lagi aku hanya manyun mendengar jawabannya.


[[]]


Di mataku, Ibu adalah seorang wanita perkasa. Wanita hebat. Sosok idolaku. Siapa sangka jika masa lalunya bisa dikatakan 180 derajat?

Ibu berasal dari keluarga kaya yang tidak terbiasa mengurus rumah tangga sendiri karena parakhadimat (pembantu) senantiasa melayani keperluan sehari-hari. Selepas kuliah, Ibu sukses dengan karirnya sebagai seorang dokter gigi. Meskipun pada akhirnya, demi menjalankan tugas mulia sebagai seorang ibu, ia rela meninggalkan profesi yang sangat dibanggakannya itu. Ibu terpaksa harus mengorbankan karirnya demi mengabdikan diri mendidik kelima putra-putrinya. Namun ia ikhlas.


Di rumah sederhana kami, tidak ada khadimat. Otomatis pekerjaan rumah tangga menjadi tanggung jawab seluruh anggota keluarga. Bertujuh. Ayah, Ibu, aku, dan keempat adikku. Masing-masing dari kami mendapatkan pembagian tugas. Aku kebagian mencuci baju, adikku yang paling besar kebagian jatah membuang sampah, adikku yang lebih kecil kebagian jatah mengurusi dapur, dan lain-lain. Namun sering kali kami mangkir dari tugas yang telah ditetapkan. Apabila kami lalai, Ibu bukannya memarahi kami, sebaliknya justru mengambil alih tugas.


“Ibu nih lho, mbok sekali-kali tegas sama anak-anak Ibu. Kalau ada yang mangkir dari tugas tuh mbokya dimarahin kek atau gimana?” tegurku.


“Ah marah-marah bikin capek, mending Ibu kerjakan sendiri.”


Ibu yang ketika muda dulu adalah anak manja yang tak bisa apa-apa, kini menjelma menjadi wanita super bagi suami dan anak-anaknya. Ibu tak pernah berpangku tangan. Segala keperluan keluarga, Ibu kerjakan sendiri. Tak peduli meski harus bolak-balik mengurus ini dan itu dari satu tempat ke tempat yang lain.


Mbok minta tolong sama aku tho Bu, kan aku bisa bantuin. Bapak dan adik-adik juga bisa kan dimintain tolong? Kan nggak harus Ibu yang mengerjakan semuanya?”


“Nggak ah, kalau Ibu bisa kerjakan sendiri akan Ibu kerjakan sendiri. Toh Ibu masih sehat wal’afiat. Kalau Ibu sakit, barulah Ibu minta tolong..” jawabnya.


Ah.. Ibu terlalu baik, terlalu banyak mengalah, terlalu banyak berkorban untuk kami. Bahkan menurutku, Ibu terlalu mengurusi hal-hal remeh. Terlalu ambil pusing. Sebagai contoh lain, ia tidak mau tidur kalau masih ada anaknya yang belum pulang hingga larut. Kadang aku sampai memarahinya.


Mbok udah tho, Ibu tidur saja. Biar Mei yang nungguin adik pulang..” bujukku.


“Nggak ah, Ibu nggak bisa tenang kalau ada anak Ibu yang belum pulang..”


Dalam urusan makanan pun, Ibu selalu mendahulukan suami dan anak-anaknya. Ia rela mendapatkan sisa, bahkan jika tidak kebagian sekalipun tidak menjadi masalah baginya.


“Ah waktu muda dulu, Ibu udah terlalu sering makan enak. Udah cukup lah..” kata Ibu beralasan.


“Udah makan aja, Ibu malas makan. Sudah kenyang..” kata Ibu di kesempatan lain.


[[]]


Perjalananku menjadi seorang ibu mungkin masih jauh. Namun telah banyak pelajaran yang aku dapatkan dari Ibuku tercinta. Padaku ia berpesan bahwa seorang ibu itu haruslah serba bisa.Supermom. Darinya aku belajar tegar dan mandiri. Dari ia pulalah aku belajar mengalah, sabar, ikhlas, dan rela berkorban.


Ya Allah, aku sayang Ibuku. Tolong sayangilah Ibu seperti ia menyayangiku sedari kecil. Lindungilah ia dengan kasih sayang-Mu. Jagalah ia dengan sebaik-baik penjagaan-Mu. Aamiin..


Uhibbuki fillah, yaa Ummi..



Yogyakarta, 19 Desember 2011

Meidwinna Vania Michiani

(Meina Fathimah)

http://www.meidwinna.blogspot.com


*Cerita ini dalam rangka mengikuti kisah pendek The Great Power of Mother Pro-U Media

http://www.facebook.com/proumedia


No comments:

Post a Comment

Assalamu'alaykum warahmatullahi wabarakatuh...

(Puji syukur kehadirat Allah yang masih memberikan nikmat iman dan Islam pada diri ini..)

Selamat datang di blogku yang mungkin hanya berisi secuil pemikiran dan ungkapan isi hati...

Sungguh, kebenaran datangnya hanya dari Allah. Adapun kesalahan datangnya murni dari diri ini. Untuk itu mohon masukan, kritik, dan sarannya serta mohon dimaafkan atas segala kesalahan. Terima kasih. Selamat menikmati. Semoga bermanfaat dan membawa berkah. Amin

(Mulakanlah dengan membaca Basmalah.... dan akhirilah dengan Hamdalah..)